FONOLOGI BAHASA INDONESIA
DAFTAR
BAHASAN
Definisi Fonologi (Fonetik dan Fonemik)
Vokal, Konsonan, dan
Diftong
Fonem dan Pembuktiaannya
Perubahan Fonem
Ejaan dalam Bahasa Indonesia
Daftar Pustaka
Definisi Fonologi (Fonetik dan
Fonemik)
Fonologi adalah bagian tata bahasa atau
bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah
fonologi, yang berasal dari gabungan kata Yunani phone 'bunyi' dan 'logos'
tatanan, kata, atau ilmu' dlsebut juga tata bunyi. Bidang ini meliputi dua
bagian.
Fonetik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau
bagaimana suate bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.
Fonemik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
Fonemik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
Bunyi ujaran yang bersifat netral, atau
masih belum terbukti membedakan arti disebut fona, sedang fonem ialah satuan
bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh
lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan
huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf.
Untuk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu:
1. Udara,
Untuk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu:
1. Udara,
2. Artikulator atau bagian alat ucap
yang bergerak, dan
3. Titik artikulasi atau bagian alat
ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Vokal, Konsonan, dan Diftong
- Vokal
Vokal
adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru tidak
mendapat halangan.
- Konsonan
Konsonan adalah
fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Yang dimaksud dengan rintangan
dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau
perubahan posisi artikulator.
- Diftong
Diftong adalah dua vokal beurutan yang diucapkan dalam satu kesatuan waktu.
Diftong dalam bahasa Indonesia adalah ai ,au, dan oi.
Contoh :petai, lantai, pantai, santai, harimau, kerbau, imbau, pulau, amboi.
Contoh :petai, lantai, pantai, santai, harimau, kerbau, imbau, pulau, amboi.
Fonem dan Pembuktianya
Ø Fonem dan Pembuktiannya
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang
berfungsi membedakan arti. Fonem dapat dibuktikan melalui pasangan minimal. Pasangan
minimal adalah pasangan kata dalam satu bahasa yang mengandung kontras minimal.
Contoh:
Contoh:
- pola & rnembedakan /o/ dan /u/®pula
- barang & membedakan /b/ dan /p/®parang
Ø Fonem dan Huruf
Bahasa Indonesia memakai ejaan fonemis,
artinya setiap huruf melambangkan satu fonem. Namun demikian masih terdapat
fonem-fonem yang dilambangkan dengan diagraf (dua hunuf melambangkan satu
fonem) seperti ny, ng, sy, dan kh.
Di samping itu ada pula diafon (satu
huruf yang melambangkan dua fonem) yakni huruf e yang digunakan untuk
menyatakan e pepet dan e taling.
Huruf e melambangkan e pepet terdapat
pada kata seperti : sedap, segar, terjadi. Huruf e melambangkan e taling
terdapat pada kata seperti : ember, tempe, dendeng
Perubahan
Fonem
Dalam
pelaksanaan bunyi-bunyi ujaran, terjadilah pengaruh timbal-balik antara
bunyi-bunyi ujaran yang berdekatan. Karena adanya pengaruh timbal-balik itu
terjadilah perubahan-perubahan bunyi-ujaran; ada perubahan yang jelas
kedengaran, ada yang kurang jelas kedengaran perubahan yang tidak jelas
misalnya fonem /a/ yang berada dalam suku kata /a/ yang berada dalam suku kata
terbuka kedengarannya lebih nyaring bila dibandingkan dengan fonem /a/ yang
terdapat dalam suku kata tertutup. Bandingkan antara /a/ pada kata: pada,
kata, rata , dengan pada kata: bedak, tidak, sempat , dan lain-lain.
Perubahan-perubahan
yang jelas kedengaran dan yang terpenting, yang biasa terdapat dalam bahasa
adalah:
1. Asimilasi
Asimilasi
dalam pengertian biasa berarti penyamaan . Dalam Ilmu Bahasa asimilasi
berarti proses di mana dua bunyi yang tidak sama disamakan atau dijadikan
hampir bersamaan. Asimilasi dapat dibagi berdasarkan beberapa segi, yaitu
berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan dan berdasarkan sifat asimilasi
itu sendiri.
a.
Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi
asimilasi atas:
i)
Asimilasi progresif, bila bunyi yang diasimilasikan terletak
sesudah bunyi yang mengasimilasikan. Contoh dalam bahasa Indonesia sejauh ini
belum dapat kami temukan. Tetapi untuk memperjelas proses ini dapat diambil
suatu contoh asing:
Latin
Kuno: Colnis > Collis
Dalam
contoh di atas fonem /n/ diasimilasikan dengan fonem /l/ yang mendahuluinya.
i)
Asimilasi regresif, bila bunyi yang diasimilasikan
mendahului bunyi yang mengasimilasikan, misalnya:
al
salam (Arab) > assalam > asalam
in
+ perfect > imperfect > imperfek
ad
+ similatio > assimilasi > asimilasi
in
+ moral > immoral > immoral, dan lain-lain.
b.
Berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri, kita dapat membedakan asimilasi
atas:
i)
Asimilasi total, bila dua fonem yang disamakan itu
dijadikan serupa benar:
ad
+ similatio > assimilasi > asimilasi
in
+ moral > immoral > imoral
al
+ salam > assalam > asalam
ii)
Asimilasi parsial, bila kedua fonem yang disamakan hanya
disamakan sebagian saja, misalnya:
in
+ perfect > imperfect > imperfek
in
+ port > import > impor, dan lain-lain.
Dalam
hal ini nasal apiko-alveolar dijadikan nasal bilabial, seduai dengan fonem /p/
yang bilabial, tetapi masih berbeda karena yang satu adalah nasal sedangkan
yang lain adalah konsonan hambat.
2. Disimilasi
Kebalikan
dari asimilasi adalah disimilasi , yaitu proses di mana dua bunyi yang
sama dijadikan tidak sama.
Contoh:
kolonel > kornel
lauk-lauk
> lauk-pauk
sayur-sayur
> sayur-mayur
3. Suara Bakti
Suara
bakti adalah bunyi yang timbul antara dua fonem, dan mempunyai fungsi untuk
melancarkan ucapan suatu kata
Dalam
mengucapkan kata-kata seperti gurauan, kepulauan, pakaian, putra, putri,
bahtra, dan lain sebagainya, terdengar bahwa dalam hubungan fonem-fonem itu
timbul lagi bunyi w atau atau y , antara u-a , dan antara i-a
. Sedangkan pada kata-kata putra, putrid, dan bahtra diselipkan
bunyi e (pepet) antara t-r . Bunyi ini sama sekali tidak mempunyai
fungsi untuk membedakan arti; gunanya hanya sebagai pelancar ucapan saja. Bunyi
semacam itu disebut suara bakti .
Intonasi
Intonasi
adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang
menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.
Intonasi merupakan perpaduan dari
bermacam-macam gejala yaitu tekanan
(stress), nada(pitch), durasi (panjang-pendek), perhentian, dan
suara yang meninggi, mendatar, atau
merendah pada akhir
arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut unsur suprasegmental bahasa.
Landasan intonasi adalah rangkaian nada
yang diwarnai oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata,
merendah pada akhir arus ujaran itu.
Tekanan (Stress)
Tekanan
(stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang
ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran. Arus ujaran yang lebih
keras atau lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh
tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah
Nada
Nada
adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang
ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.
Durasi
Durasi
adalah suatu jenis unsure suprasegmental yang
ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah
segmen.
Dalam tutur, segmen-segmen
dalam kata / tinggi /
yaitu / ting / dan
/ gi /
masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi
bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi / atau sebaliknya.
Misalnya:
/ ti . . ng-gi sekali / atau
/ ting-gi . . sekali /
Dalam hal yang pertama /i/
dari segmen / ting /
diucapkan lebih lama, sedangkan dalam hal yang kedua /i/ dari segmen / gi / diucapkan lebih lama.
Kesenyapan
Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi
selama berlangsungnya suatu tutur atau suatu arus-ujaran, yang memutuskan
arus-ujaran yang tengah berlangsung
Ada kesenyapan yang bersifat
sementara atau berlangsung sesaat saja, yang menunjukkan bahwa tutur itu masih
akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang sifatnya lebih lama, yang biasanya
diikuti oleh suara yang menurun yang menyatakan bahwa tutur atau bagiab dari
tutur itu telah mencapai kebulatan.
Kesenyapan jenis pertama
disebut kesenyapan antara atau
kesenyapan non-final atau
jeda . Kesenyapan
ini biasanya dilambangkan dengan tanda
koma (,). Sedangkan kesenyapan yang kedua disebut kesenyapan akhir atau kesenyapan final . Kesenyapan
ini biasanya dilambangkan dengan tanda
titik (.) atau titik
koma (;) bila suaranya merendah, dan akan dilambangkan dengan tanda tanya (?) jika intonasi
merendah, dan kan dilambangkan dengan tanda
seru (!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara yang
menurun.
Ejaan dalam Bahasa
Indonesia
1. Huruf
Bagian terbesar dari sejarah
umat manusia berada dalam kegelapan karena perkembangan, perluasan,
timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini tidak diketahui.
Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu cara untuk dapat meninggalkan
kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang tertulis baru saja
diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.
Bukti-bukti tertulis itu dalam
bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-
orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan
lukisan menggambarkan kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biasa
disebut piktograf.
Piktograf itu lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga suatu lukisan
dapat menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan
tetapi mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol
yang sama; sistem ini disebut ideograf
atau logograf,
yaitu suatu sistem dimana suatu kata dilambangkan oleh suatu tanda, misalnya
dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem kita yang modern ini masih dapat
ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita melambangkan bilangan-bilangan
memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.
Dari sistem ideograf atau
logograf itu kemudian diturunkan bermacam-macam lambang yang mewakili suku kata saja. Contoh yang
dapat dikemukakan adalah huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain.
Untuk menunjukkan vokal dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi
tanda-tanda baru.perkembangan yang paling akhir sebagai penyempurnaan dari sistem
perlambangan atas suku kata (silabis), adalah setiap bunyi dilambangkan dengan
satu tanda. Sistem ini disebut fonemis
, misalnya aksara Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.
Dengan bermacam-macam cara
itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk lambang-lambang. Segala macam
cara itu pada umumnya disebut huruf.
Secara Harfiah , Huruf adalah lambang atau gambaran dari
bunyi
Di antara sekian macam sistem
itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk satu bunyi adalah sistem
yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf yang akan dipakai
adalah pengertian terakhir.
Jadi sejauh ini
sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem tulisan.
a. Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar
untuk melukiskan suatu peristiwa, misalnya pada orang Indian Mexico.
b. Ideograf atau logograf: suatu tanda atau
lambang mewakili sepatah kata atau pengertian, misalnya huruf Cina.
c. Tulisan silabis: suatu tanda untuk
menggambarkan suatu suku kata, misalnya tulisan Jepang, Dewa Negari, dan
lain-lain.
d. Tulisan fonemis: satu tanda untuk
melambangkan satu bunyi, misalnya huruf Latin, Yunani, Jerman dan lain-lain.
Setiap
sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan tertentu. Rentetan
urutan sistem Latin lain dari Yunani dan lain pula dari urutan sistem Rusia.
Rentetan huruf-huruf menurut sistem tertentu itu kita kenal dengan abjad atau
alfabet . Jadi ada alfabet Latin, ada alfabet Yunani dan lain-lain.
2. Ejaan
Ejaan adalah Keseluruhan
peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi-ujaran dan bagaimana
inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam
suatu bahasa.
Dasar yang paling baik dalam
melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu bunyi-ujaran yang mempunyai
fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu.
Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan,
walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran
kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi (penulisan)
bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang
menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat dISudah diusahakan
bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi kepuasan.
Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara, perhentian
akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi
hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran
harus diulang oleh yang membacanya. Segala macam tanda baca seperti yang
disebut di atas disebut tanda
baca atau pungtuasi.
Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda
untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang
masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf),
misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap
prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu
tanda). Di samping itu masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu
terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem
yang dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini
menimbulkan dualisme dalam pengucapan. Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar
pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana
menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal
seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan maupun
antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita harus
memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan
kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini
memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.
3. Macam-Macam Ejaan
Sebelum tahun 1900
setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem
ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada
tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan
mempergunakan aksara Latin.
Dalam usahanya itu
ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan
bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan
bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim,
akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada
juga yang menyebutnya Ejaan
Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi
tapi tatap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926
mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres
Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak
diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama
sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis
yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan
waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru
oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No.
264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini
kemudian terkenal dengan nama Ejaan
Suwandi.
Sebagai dampak dalam
keputusan di atas, bunyi oe tidak
semuanya diganti dengan u. Baru
pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
tanda oe mulai 1
Januari 1949 diganti dengan u.
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan.
Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No.
44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan
baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada
usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir
tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang
kemudian dikenal dengan nama Ejaan
Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak
jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.
Karena laju perkembangan
pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di
tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk
lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru,
yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali
diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972
diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang
dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang
paling penting dalam EYD adalah:
Lama Yang Disempurnakan
dj djalan j jalan
j pajung y payung
nj njonja ny nyonya
sj* sjarat sy syarat
tj tjakap c cakap
ch* tarich kh tarikh
* Kedua gabungan
huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu diresmikan
pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:
f
maaf, fakir
v valuta, universitas
z zeni, lezat
q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.
Daftar Pustaka
Buku teks Fonologi Bahasa
Indonesia oleh Masnur Muslih
Verhaar, J.W.M. et al. 2000. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
Yusuf, Suhendra. 1998. Fonetik dan
Fonologi. Jakarta: Gramedia.
SEMOGA BERMANFAAT,,,,,,,,,,,,
SALAM DARI HATI KE HATI,,,,,,,,,,,