PUISI MODERN
DAFTAR
BAHASAN
Definisi dan
ciri-ciri puisi modern
Unsur-unsur
puisi
Lahirnya
Puisi Modern
Pendekatan dalam
Mengapresiasi Puisi
Perkembangan Puisi Modern
DEFINISI DAN CIRI-CIRI PUISI MODERN
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa
Yunani berasal dari poesis
yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini
adalah poetry yang erat
dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,
1986:4) menjelaskan bahwa kata poet
berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani
sendiri, kata poet
berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir
menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang
berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan,
guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Dapat
disimpilkan bahwa pengertian puisi
secara garis besarnya adalah perasaan penyair yang ungkapkan dalam pilihan kata yang cermat,
serta mengandung imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera,
susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur. Sedangkan
puisi medern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa penjajahan
belanda atau setelah kemerdekaan Indonesia.
ciri-ciri puisi modern
- Puisi bersifat bebas, baik bentuk
maupun isinya
- Prosa
baru dinamis (selalu berubah dengan perkembangan masyarakat)
- Masyarakat sentris (mengambil bahan dan
kehidupan sehari-hari)
- Karya sastra (puisi, novel, cerpen, drama) berdasarkan dunia nyata.
- Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
- Karya sastra (puisi, novel, cerpen, drama) berdasarkan dunia nyata.
- Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
- Pengarangnya diketahui dengan jelas
Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat
mengenai unsur-unsur puisi.
(1) Richards (dalam Tarigan, 1986)
mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema
(sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi
yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
(2) Waluyo (1987) yang mengatakan
bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai
struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin
pengarang.
(3) Altenberg dan Lewis (dalam
Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur
puisi, namun dari outline
buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi,
imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi,
bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
(4) Dick Hartoko (dalam Waluyo,
1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau
unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih
menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah
struktur fisik puisi.
(5) Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri,
(3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun,
1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4)
amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme
dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat
dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan
amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata
konkret, ritme, dan rima). Djojosuroto (2004:35) menggambarkan sebagai berikut.
Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan
Roekhan (1991:55-65) menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.
Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai
berikut.
(1) Perwajahan
puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak
selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat
mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin.
Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi,
dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa
puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal,
penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam
bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis
(penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital
hingga titik).
(3) Imaji,
yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba
atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan
melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata
kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal
kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll.,
sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat
hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa
figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi,
yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada
puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope
(tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi
Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan
akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi
bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan
tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol
dalam pembacaan puisi.
Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan
sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa
adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap
kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling),
yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,
kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang
terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3) Nada (tone),
yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan
rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja
sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja
kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak,
ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa
dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam
puisinya.
Lahirnya Puisi Modern
Puisi modern lahir dan berkembang di Indonesia setelah masa
kemerdekaan. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat dibagi
menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Pendekatan dalam
Mengapresiasi Puisi
Pendekatan merupakan seperangkat asumsi dan
prinsip yang berhubungan dengan sifat-sifat puisi. Pendekatan dalam mengapresiasi
puisi terdiri dari pendekatan terhadap teks puisi serta pendekatan dalam
membaca puisi.
a.
Pendekatan Parafrasis
Sesuai
hakikatnya, puisi mengunakan kata-kata yang padat. Oleh sebab itu, banyak puisi
yang tidak mudah untuk dapat dipahami terutama oleh pembaca pemula. Ada
pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu mengungkapkan kembali gagasan yang
disampaikan penyair dalam bentuk baru yaitu menyisipkan kata atau kelompok kata
dengan tujuan memperjelas makna puisi tersebut. Pendekatan ini bertujuan
menguraikan kata yang padat dan menkonkretkan yang bermakna kias.
b. Pendekatan Emotif
b. Pendekatan Emotif
Pendekatan
ini berupaya mengajak emosi atau perasaan pembaca, berkaitan dengan keindahan
penyajian bentuk atau isi gagasan. Yang ingin diketahui pembaca adalah bagaimana
penyair menampilkan keindahan tersebut. Pendekatan ini juga sering diterapkan
untuk memahami puisi humor, satire, serta sarkastis.
c. Pendekatan Analitis
Cara
memahami isi puisi melalui unsur intrinsik pembentuk puisi. Unsur intrinsik
adalah unsur yang secara langsung membangun puisi dari dalam karya itu sendiri.
Unsur intrinsik puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi,
enjambemen, akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.
Citraan merupakan suatu gambaran mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran (Laurence, 1973). Citraan tersebut termuat dalam kata-kata yang dipakai penyair. Citraan atau imaji dibagi menjadi:
1) Visual imagery
Citraan merupakan suatu gambaran mental atau suatu usaha yang dapat dilihat di dalam pikiran (Laurence, 1973). Citraan tersebut termuat dalam kata-kata yang dipakai penyair. Citraan atau imaji dibagi menjadi:
1) Visual imagery
2)
Auditory imagery
3)
Smell imagery
4)Tactile
imagery
d. Pendekatan Historis
Unsur ekstrinsik
dapat terdiri dari unsur biografi penyair yang turut mempengaruhi puisinya,
unsur kesejarahan atau unsur historis yang menggambarkan keadaan zaman pada
saat puisi tersebut diciptakan, masyarakat, dan lain-lain.
e. Pendekatan Didaktis
Pendekatan
ini berupaya menemukan nilai-nilai pendidikan yang tertuang dalam puisi. Agar
dapat menemukan gagasan tersebut, pembaca dituntut memiliki kemampuan
intelektual dan kepekaan.
f. Pendekatan Spsiopsikologis
Berupaya
memahami kehidupan sosial, budaya, serta kemasyarakatan yang tertuang dalam
puisi. Puisi yang dapat dipahami menggunakan pendekatan sosiopsikologis serta
pendekatan didaktis adalah puisi naratif.
Perkembangan
Puisi Modern
Siapakah Umbu? Hingga penyair Taufiq Ismail,
menyebut nama itu dalam salah satu puisinya? Umbu,nama lengkapnya Umbu Landu
Paranggi, adalah sosok misterius. Ia selalu menghindar dari publisitas. Tetapi
dialah sumber energi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan puisi
Indonesia modern, sejak tahun 1960-an sampai sekarang. “Saya bisa menjadi
seperti sekarang ini karena didikan Umbu.” Komentar demikian sangat sering saya
dengar langsung dari penyair yang sedang naik daun.
Tahun 1970-an, Yogyakarta adalah kota yang paling banyak melahirkan penyair. Redaktur Majalah Horison, yang ketika itu berkantor di Balai Budaya, selalu kebanjiran kiriman puisi dari Yogyakarta. Pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an, di kota gudeg memang bermukim Penyair Kirjomulyo, Rendra, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono. Tetapi lahirnya nama-nama, seperti Korie Layun Rampan, Linus Suryadi, dan Emha Ainun Najib, lebih disebabkan oleh kehadiran Umbu. Meskipun dia tidak pernah sekali pun mengklaim hal seperti ini.
Tahun 1975, banyak penyair seangkatan tiga nama itu muncul ke permukaan sastra Indonesia dari Yogyakarta. Pada tahun 1975 itu, tiba-tiba Umbu menghilang. Beberapa teman mengatakan, ia pulang kampung ke Waikabubak di Sumba Barat. Tetapi kemudian ketahuan ia bermukim di Denpasar, Bali. Sekarang, Bali dari Pulau Dewata ini banyak bermunculan penyair berbakat. Banyak di antara nama itu yang kemudian hadir sebagai penyair papan atas Indonesia. Nama yang menonjol, antara lain Oka Rusmini dan Warih Wisatsana.
Tahun 1970-an, Yogyakarta adalah kota yang paling banyak melahirkan penyair. Redaktur Majalah Horison, yang ketika itu berkantor di Balai Budaya, selalu kebanjiran kiriman puisi dari Yogyakarta. Pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an, di kota gudeg memang bermukim Penyair Kirjomulyo, Rendra, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono. Tetapi lahirnya nama-nama, seperti Korie Layun Rampan, Linus Suryadi, dan Emha Ainun Najib, lebih disebabkan oleh kehadiran Umbu. Meskipun dia tidak pernah sekali pun mengklaim hal seperti ini.
Tahun 1975, banyak penyair seangkatan tiga nama itu muncul ke permukaan sastra Indonesia dari Yogyakarta. Pada tahun 1975 itu, tiba-tiba Umbu menghilang. Beberapa teman mengatakan, ia pulang kampung ke Waikabubak di Sumba Barat. Tetapi kemudian ketahuan ia bermukim di Denpasar, Bali. Sekarang, Bali dari Pulau Dewata ini banyak bermunculan penyair berbakat. Banyak di antara nama itu yang kemudian hadir sebagai penyair papan atas Indonesia. Nama yang menonjol, antara lain Oka Rusmini dan Warih Wisatsana.
Dalam perkembangan puisi modern Indonesia sekarang ini; Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta kalah dengan Denpasar. Bahkan dengan Tanjungkarang pun, Jakarta tertinggal jauh.
Perkembangan kepenyairan
yang mengejutkan di Bali, salah satunya adalah karena kehadiran Umbu. Meski
kali ini pun ia tetap misterius. Bahkan jauh lebih misterius dibanding ketika
ia masih bermukim di Yogyakarta dulu. Perkembangan puisi modern Indonesia,
selama satu dekade terakhir ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Paling tidak
jika dibandingkan dengan perkembangan cerpen dan novel. Artinya, dalam sepuluh
tahun terakhir, banyak cerpen dan novel bermutu ditulis. Tetapi tidak ada puisi
bagus. Peristiwa dahsyat Mei 1998 ternyata juga tidak melahirkan apa-apa.
Bahkan tsunami pun hanya melahirkan banyak “puisi proyek”. Di tengah kondisi
puisi Indonesia modern yang loyo ini, Umbu tetap konsisten dengan perannya
seperti ketika bermukim di Yogyakarta dulu.
Selain kalah dengan cerpenis dan novelis, penyair Indonesia dekade 1990 dan 2000-an sekarang ini juga kalah jauh dibanding dengan penyair dekade sebelumnya (1970 dan 1980-an). Paling tidak, tahun 1970 dan 1980-an banyak kejutan yang antara lain dibuat Sutardji Calzoum Bachri. Setelah itu khazanah puisi modern Indonesia datar-datar saja dan tetap didominasi nama- nama lama. Mulai dari Sitor Situmorang, Ramadhan KH yang baru saja meninggal, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
Selain kalah dengan cerpenis dan novelis, penyair Indonesia dekade 1990 dan 2000-an sekarang ini juga kalah jauh dibanding dengan penyair dekade sebelumnya (1970 dan 1980-an). Paling tidak, tahun 1970 dan 1980-an banyak kejutan yang antara lain dibuat Sutardji Calzoum Bachri. Setelah itu khazanah puisi modern Indonesia datar-datar saja dan tetap didominasi nama- nama lama. Mulai dari Sitor Situmorang, Ramadhan KH yang baru saja meninggal, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
Para penyair itu kelahiran tahun 1930 dan 1940-an. Sitor bahkan kelahiran 1924. Mereka yang lahir sekitar tahun 1950-an, sebagian besar merupakan “didikan Umbu di Yogyakarta”. Mereka ini banyak yang gugur di tengah jalan. Ada yang meninggal dalam arti sebenarnya, seperti Linus Suryadi dan Hamid Jabar. Tetapi banyak yang kehabisan energi lalu kapok jadi penyair. Ada yang jadi praktisi hukum, politisi, wartawan. Ada pula yang bingung memilih identitas, ada yang menjadi “bapak rumah tangga”.
Generasi kelahiran 1950-an yang masih hidup dan relatif
menonjol tinggal Afrizal Malna yang tetap konsisten sebagai penyair, Korie
Layun Rampan sebagai kritikus sastra dan Emha sebagai seleb. Generasi yang
lahir tahun 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, kebanyakan kurang bunyi karena
mereka tidak sepenuh hati berprofesi sebagai penyair. Di sinilah kita bisa
sangat hormat pada totalitas Umbu, yang tetap gigih memberi motivasi kepada
para calon penyair. Padahal sudah ketahuan bahwa profesi penyair tidak
menjanjikan apa-apa secara finansial.
Umbu Landu Paranggi sudah mulai menulis puisi, esai, dan
artikel di Yogyakarta sejak tahun 1950-an. Tetapi puisinya tidak pernah
menonjol dan menarik perhatian para kritikus. Perannya dalam perkembangan puisi
Indonesia modern, justru penting ketika tahun 1968 ia mendirikan Persada Studi
Klub (PSK). Kelompok ini didirikannya bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman
Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara.
PSK yang punya rubrik puisi di Mingguan Pelopor ini, segera menarik minat generasi muda. Ketika itu di Yogyakarta juga sudah terbit majalah Semangat (remaja) dan Basis (budaya), yang juga memuat puisi. Ruang puisi Basis ketika itu diasuh oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Rendra yang baru saja pulang dari AS dan mendirikan Bengkel Teater juga sangat mewarnai kehidupan berkesenian di Yogya. Akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, Yogyakarta benar-benar merupakan “lahan persemaian penyair”.
Tahun-tahun itu, Indonesia memang baru dalam suasana eforia karena terbebas dari kekangan pemerintahan Soekarno. Sementara pemerintahan Soeharto masih belum otoriter. Ketika itulah Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Horison lahir. Dibanding TIM dan Horison, PSK-nya Umbu sangat kecil.
PSK yang punya rubrik puisi di Mingguan Pelopor ini, segera menarik minat generasi muda. Ketika itu di Yogyakarta juga sudah terbit majalah Semangat (remaja) dan Basis (budaya), yang juga memuat puisi. Ruang puisi Basis ketika itu diasuh oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Rendra yang baru saja pulang dari AS dan mendirikan Bengkel Teater juga sangat mewarnai kehidupan berkesenian di Yogya. Akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, Yogyakarta benar-benar merupakan “lahan persemaian penyair”.
Tahun-tahun itu, Indonesia memang baru dalam suasana eforia karena terbebas dari kekangan pemerintahan Soekarno. Sementara pemerintahan Soeharto masih belum otoriter. Ketika itulah Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Horison lahir. Dibanding TIM dan Horison, PSK-nya Umbu sangat kecil.
Tetapi totalitas terhadap
profesi yang dicontohkan Umbu, sungguh luarbiasa. Hingga ia pun memperoleh
julukan sebagai “Presiden Penyair Malioboro”. Memang sulit untuk merumuskan
peran Umbu dalam perkembangan puisi Indonesia modern. Meskipun peran itu ada
dan sangat besar. Kesulitan demikian, kurang lebih sama apabila kita harus
menjelaskan “makna” sebuah puisi. Meskipun kekuatan puisi itu jelas bisa kita
rasakan. Umbu, kelahiran Waikabubak 10 Agustus 1943, sekarang berusia 63 tahun.
Ia tetap total dalam memberi inspirasi kepada para penyair muda, bahkan juga
penyair tua seperti Taufiq Ismail.
Bahagialah dengan apa
yang kamu miliki. Jangan melepasnya hanya karena rasa takut. Kamu mungkin tak
akan mendapatkannya kembali.